BAB I
PENDAHULUAN
I.Latar Belakang
Konversi
lahan merupakan salah satu isu yang hangat di bidang pertanahan upaya alih fungsi lahan dari pertanian ke non
pertanian yang menyalahi prosedur tersebut, mengakibatkan dampak yang kritis
terhadap pertanian nasional. Pertanian adalah sektor utama yang dikembangkan di
Jawa Tengah. Jateng sebagai salah satu Provinsi penyangga pangan nasional
menjadi ikut terancam karena provinsi ini memberikan kontribusi 16% dari total
produksi beras nasional. Di Jateng laju alih fungsi lahan sawah mecapai luas
rata-rata 2000-2500 hektar per tahun. Bila kita konvesrsikan tingkat produksi
gabah 5,5 ton per hektar dengan asumsi panen 2 kali panen setahun maka jateng
kehilangan gabah 22.000-27.500 ton pertahun. Angka ini mempunyai dampak yang
signifikan terhadap penurunan produksi beras di Jateng.
Pekalongan
salah satu daerah yang paling kritis lahan pertanian. Alih fungsi lahan
pertanian terjadi secara besar-besaran. Laju konversi atau alih fungsi lahan
pertanian ke nonpertanian untuk pemenuhan kepentingan ekonomi juga terus
berlangsung dan sulit dibendung. Hal tersebut megakibatkan terjadinya penyempitan
lahan pertanian didaerah tersebut. Data Dinas Peternakan Pertanian dan Kelautan
(DPPK) Kota Pekalongan menyebutkan, setiap tahun sekitar enam hektare lahan
pertanian hilang karena konversi lahan pertanian ke non pertanian. Kebanyakan
beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan hal tersebut terjadi hampir
diseluruh kecamatan di Pekalongan.
Krisisnya
lahan pertanian di kota Pekalongan merupakan masalah serius bagi pemkot
Pekalongan. Karena dampaknya akan berimbas langsung pada swasembada pangan nasional.
Dan penyempitan lahan pertanian yang tidak wajar ini seharusnya menjadi
perhatian khusus pemprov Jateng, terutama pemkot Pekalongan. Atas dasar kasus tersebut kami mengangkat judul “
Krisisnya lahan pertanian di Pekalongan akibat Konversi Lahan pertanian menjadi
perumahan”.
Rumusan
maslah:
1.
Penyebab
2.
Dampak
3.
Dasar hukum
4.
Solui
Faktor Penyebab :
Proses
terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan
oleh beberapa factor. Kustiawan (1997) dalam
Supriyadi (2004) menyatakan bahwa setidaknya ada 3 faktor penting yang
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah, yaitu :
1) Faktor
Eksternal, disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun
spasial), demografi maupun ekonomi.
2) Faktor
Internal, disebabkan oleh kondisi soaial-ekonomi rumah tangga pertanian
penggunaan lahan.
3) Faktor
kebijakan, disebabkan oleh aspek regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat
maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Pasandaran (2006) menjelaskan paling
tidak ada 3 fakto, baik sendiri-sendiri maupun betrsama-sama yang merupakan
determinan konversi lahan sawah, yaitu :
1) Kelangkaan
Sumberdaya lahan dan air
2) Dinamika
pembangunan
3) Peningkatan
jumlah penduduk
Adapun factor-faktor yang mempengaruhi
konversi lahan sawah ditingkat petani menurut Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah sebagai pihan
alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi oleh kondisi social
ekonomi petani seperti tingkat pendidikan pendapatan dan kemampuan ekonomi
secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Sehingga
diperlukan control agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Berikut uraian
beberapa factor penyebab konversi lahan yang diambil secara umum dari beberapa
kasus.
a. Faktor
Ekonomi
Secara ekonomi alih fungsi lahan yang
dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun
mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan
keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya , baik dalam jangka
pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Penelitian yang dilakukan
oleh beerapa peneliti, menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah untuk penanaman
padi sangat inferior disbanding penggunaan untuk turisme, perumahan dan
industry.
Penelitian syafaat (2001) mengemukakan
bahwa pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar jawa, menunjukkan bahwa
selain factor teknis dan kelembagaan, factor ekonomi yang menetukan alih fungsi
lahan sawah dari pertanian ke non pertanian adalah:
1. Nilai
kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun.
2. Respon
petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usaha tani
meningkat.
Temuan yang menarik adalah bahwa
rataan konversi lahan sawah berhubungan negative dengan pertumbuhan nilai tukar
petani. Hasil ini sama dengan hasil penelitian-penilitian di lingkup mikro
sebelumnya. Dimana usaha berproduksi padi di lahan sawah sudah tidak memberikan
insentif bagi petani. Daya saing produk pertanian, khususnya padi, dan harga
lahan yang cenderung terus meningkat mendorong petani untuk menjual lahan
sawahnya untuk beralih ke usaha lain.
b.
Faktor Sosial
Menurut Witjaksono (1996) ada lima
faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku,
hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan
apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir
berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai
pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali
terjadinya alih fungsi lahan. Oleh karena itu kedua faktor itu tidak diuraikan
lebih lanjut dalam tulisan ini.
Perubahan
Perilaku
Prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai
telah membuka wawasan penduduk pedesaan terhadap dunia baru di luar
lingkungannnya. Mereka merasa dirinya sebagai petani ketinggalan zaman dan sama
sekali belum modern. Persepsi mereka, terutama generasi mudanya, terhadap
profesi petani tidak jauh berbeda dengan persepsi masyarakat perkotaan, yaitu bahwa
profesi petani adalah pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi.
Akibat perubahan cara pandang tersebut, citra petani dibenak
mereka semakin menurun. Dengan demikian lahan pertanian bukan lagi merupakan
aset sosial semata, tetapi lebih diandalkan sebagai aset ekonomi atau modal kerja
bila mereka beralih profesi di luar bidang pertanian. Mereka tidak akan
keberatan melepaskan lahan. pertaniannya untuk dialihfungsikan pada penggunaan
non pertanian. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan kondisi ekonomi
seperti saat ini, dimana kesempatan kerja formal semakin kecil. Tidak sedikit
petani menjual lahannya untuk biaya masuk kerja pada lapangan kerja
formal, atau membeli kendaraan untuk angkutan umum.
Hubungan
Pemilik dengan Lahan
Bagi petani yang hanya menggantungkan kehidupan dan penghidupannya
pada usahatani akan sulit dipisahkan dari lahan pertanian yang dikuasainya.
Mereka tidak berani menanggung risiko atas ketidakpastian penghidupannya
sesudah lahan pertaniannya dilepaskan kepada orang lain. Di samping itu, status
sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan
lahannya. Dengan memiliki lahan yang luas, petani dapat memberi pekerjaan
kepada tetangganya. Hubungan antara pemilik lahan dengan buruhnya diikat dalam
ikatan kekeluargaan yang saling membutuhkan, meskipun dalam status yang
berbeda. Dalam hal ini, lahan pertanian merupakan aset sosial bagi pemiliknya
yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempertahankan kehormatan
keluarganya. Lahan pertanian yang memiliki fungsi sosial seperti ini tidak
mudah tergantikan dengan imbalan ganti rugi berupa uang meskipun jumlahnya
memadai.
Pemecahan
Lahan
Sistem waris dapat menyebabkan kepemilikan lahan yang semakin
menyempit. Lahan pertanian yang sempit di samping pengelolaannya kurang efisien
juga hanya memberikan sedikit kontribusi bagi pendapatan keluarga petani
pemiliknya. Biasanya petani tidak lagi mengandalkan penghidupannya dari bidang
pertanian, sehingga mereka beralih mencari sumber pendapatan baru di bidang non
pertanian. Untuk itu mereka membutuhkan modal atau dana yang diperoleh dengan
cara menjual lahan pertaniannya. Banyak juga lahan yang diwariskan petani
kepada anaknya digunakan untuk pemukiman sebagai akibat pengembangan keluarga
melalui perkawinan. Bentuk lain yang berhubungan dengan pemecahan lahan adalah
lembaga perkawinan yang umumnya berlaku di lingkungan masyarakat petani di
pedesaan. Terbentuknya keluarga baru biasanya dibekali sebidang lahan oleh
masing-masing pihak orangtua suami dan isteri untuk digabungkan
menjadi milik bersama. Permasalahannya letak kedua lahan tersebut cenderung
terpisah., sehingga kurang efisien dalam pengelolaannya dan sulit
mengendalikannya. Dua kondisi ini mendorong pemiliknya untuk menjual sebagian
lahan tersebut.
Upaya
mengatasi konversi lahan :
Konversi lahan sebenarnya
merupakan dilemma dalam konteks pembangunan ekonomi. Karena jika lahan
pertanian sepenuhnya dilarang dikonversi ke penggunaan non pertanian maka hal
itu dapat menghambat sektor lain yang memiliki produktivitas lebih tinggi dibanding
sektor pertanian.
Sebaliknya, jika konversi lahan dibiarkan berlangsung
secara tidak terkendali melalui mekanisme pasar maka dapat menimbulkan masalah
swasembada pangan. Maka solusinya adalah meminimalkan berbagai dampak negatif.
Menteri Pertanian mengkhawatirkan
dibukanya jalan tol Jakarta-Surabaya setidaknya seluas 4.500 hektar sawah akan
terkonversi. Menurut BPS konversi lahan 27.000/tahun. Oleh karena itu harus ada
penambahan lahan pertanian. Menteri Pertanian Suswono dalam satu kesempatan
menagih komitmen BPN yang akan mengalokasikan lahan pertanian seluas 2 juta
hektar. Terhadap komitmen ini Kepala Badan Pertanahan Nasional ketika
Peringatan Tahun Emas Hari Agraria Nasional mengingatkan bahwa peruntukan tanah
tersebut masih melakukan pengkajian tidak saja untuk kepentingan pertanian
tetapi juga untuk kepentingan lainnya.
Dalam PP No. 11/2010 dinyatakan
bahwa pendayagunaan dan pemanfaatan lahan yang ditertibkan diarahkan
peruntukkannya untuk merespons kepentingan strategis negara yaitu untuk
pengembangan pangan, termasuk pertanian,
pengembangan energi dan perumahan rakyat. Setelah selesai pemetaan, maka akan
diserahkan kepada petani. (Baca : BPN Kaji Ulang Tanah Terlantar untuk
Pertanian). Menteri Pertanian terus mencari cara untuk mengerem laju konversi
lahan pertanian, sebab kalau dibiarkan target swasembada pangan tidak pernah
tercapai. Menurut Bambang Irawan, peneliti dari Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian dalam makalahnya “Solusi Konversi Lahan melalui Pendekatan
Sosial Ekonomi” mengajukan tiga strategi yang dapat ditempuh yaitu (1)
memperkecil peluang terjadinya konversi lahan; (2) mengendalikan kegiatan
konversi lahan dalam rangka penekan potensi dampak negatif yang dapat
ditimbulkan secara ekonomi, sosial dan lingkungan serta (3) menanggulangi
dampak negatif konversi lahan baik yang dialami oleh masyarakat di sekitar
lokasi konversi lahan maupun masyarakat
lainnya.
Hingga saat ini kekhawatiran juga
terjadi dalam hal penerapan hukum yang berkaitan dengan pengendalian konversi
lahan sawah. Data menunjukkan konversi lahan sawah terus terjadi. Menurut Jamal
(2000) permasalahan konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan
terjadi akumulasi penguasaan lahan pada pihak tertentu dapat dijawab dengan
reformasi agraria. Namun kegiatan ini membutuhkan tenaga pelaksana yang jujur,
tersedianya data penguasaan dan pemilikan lahan yang lengkap, dan dukungan dana
yang terus menerus. Prasyarat tersebut menyebabkan banyak negara gagal
melaksanakannya.
Dari faktor sosial, perilaku dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat cenderung mendorong terjadinya konversi lahan. Lahan sebagai private
goods berbeda dengan common goods yang dapat dikendalikan pemanfaatannya
berdasarkan kesepakatan sosial, seperti layaknya pada kawasan hutan dan
perairan masih dapat dilindungi pemanfaatannya dengan kesepakatan masyarakat
setempat. Sedangkan dari Dari tiga faktor diatas, faktor ekonomi dan perangkat
hukum secara simultan diharapkan dapat mengendalikan konversi lahan sawah. Dana
yang diperoleh dari penerimaan pajak progresif tersebut digunakan untuk
pencetakan sawah baru dan perbaikan irigasi. Sejalan dengan upaya peningkatan
keakuratan data dan perangkat hukum yang tegas, upaya yang realistis untuk
dilakukan adalah mencetak sawah baru dan meningkatkan kualitas irigasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar