Sabtu, 15 Juni 2013

Ekologi Pertanahan


BAB I
PENDAHULUAN

I.Latar Belakang

                Konversi lahan merupakan salah satu isu yang hangat di bidang pertanahan  upaya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian yang menyalahi prosedur tersebut, mengakibatkan dampak yang kritis terhadap pertanian nasional. Pertanian adalah sektor utama yang dikembangkan di Jawa Tengah. Jateng sebagai salah satu Provinsi penyangga pangan nasional menjadi ikut terancam karena provinsi ini memberikan kontribusi 16% dari total produksi beras nasional. Di Jateng laju alih fungsi lahan sawah mecapai luas rata-rata 2000-2500 hektar per tahun. Bila kita konvesrsikan tingkat produksi gabah 5,5 ton per hektar dengan asumsi panen 2 kali panen setahun maka jateng kehilangan gabah 22.000-27.500 ton pertahun. Angka ini mempunyai dampak yang signifikan terhadap penurunan produksi beras di Jateng.
Pekalongan salah satu daerah yang paling kritis lahan pertanian. Alih fungsi lahan pertanian terjadi secara besar-besaran. Laju konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian untuk pemenuhan kepentingan ekonomi juga terus berlangsung dan sulit dibendung. Hal tersebut megakibatkan terjadinya penyempitan lahan pertanian didaerah tersebut. Data Dinas Peternakan Pertanian dan Kelautan (DPPK) Kota Pekalongan menyebutkan, setiap tahun sekitar enam hektare lahan pertanian hilang karena konversi lahan pertanian ke non pertanian. Kebanyakan beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan hal tersebut terjadi hampir diseluruh kecamatan di Pekalongan.
Krisisnya lahan pertanian di kota Pekalongan merupakan masalah serius bagi pemkot Pekalongan. Karena dampaknya akan berimbas langsung pada swasembada pangan nasional. Dan penyempitan lahan pertanian yang tidak wajar ini seharusnya menjadi perhatian khusus pemprov Jateng, terutama pemkot Pekalongan. Atas  dasar kasus tersebut kami mengangkat judul “ Krisisnya lahan pertanian di Pekalongan akibat Konversi Lahan pertanian menjadi perumahan”. 
Rumusan maslah:
1.       Penyebab
2.       Dampak
3.       Dasar hukum
4.       Solui





Faktor Penyebab :
                Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan oleh beberapa factor. Kustiawan (1997) dalam Supriyadi (2004) menyatakan bahwa setidaknya ada 3 faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah, yaitu :
1)      Faktor Eksternal, disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi.
2)      Faktor Internal, disebabkan oleh kondisi soaial-ekonomi rumah tangga pertanian penggunaan lahan.
3)      Faktor kebijakan, disebabkan oleh aspek regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada 3 fakto, baik sendiri-sendiri maupun betrsama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu :
1)      Kelangkaan Sumberdaya lahan dan air
2)      Dinamika pembangunan
3)      Peningkatan jumlah penduduk

Adapun factor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ditingkat petani menurut Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah sebagai pihan alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi petani seperti tingkat pendidikan pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Sehingga diperlukan control agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Berikut uraian beberapa factor penyebab konversi lahan yang diambil secara umum dari beberapa kasus.
a.       Faktor Ekonomi
Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya , baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh beerapa peneliti, menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah untuk penanaman padi sangat inferior disbanding penggunaan untuk turisme, perumahan dan industry.  
Penelitian syafaat (2001) mengemukakan bahwa pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar jawa, menunjukkan bahwa selain factor teknis dan kelembagaan, factor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah dari pertanian ke non pertanian adalah:
1.       Nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun.
2.       Respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usaha tani meningkat.

Temuan yang menarik adalah bahwa rataan konversi lahan sawah berhubungan negative dengan pertumbuhan nilai tukar petani. Hasil ini sama dengan hasil penelitian-penilitian di lingkup mikro sebelumnya. Dimana usaha berproduksi padi di lahan sawah sudah tidak memberikan insentif bagi petani. Daya saing produk pertanian, khususnya padi, dan harga lahan yang cenderung terus meningkat mendorong petani untuk menjual lahan sawahnya untuk beralih ke usaha lain.
b.      Faktor Sosial
Menurut Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan. Oleh karena itu kedua faktor itu tidak diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

Perubahan Perilaku

Prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai telah membuka wawasan penduduk pedesaan terhadap dunia baru di luar lingkungannnya. Mereka merasa dirinya sebagai petani ketinggalan zaman dan sama sekali belum modern. Persepsi mereka, terutama generasi mudanya, terhadap profesi petani tidak jauh berbeda dengan persepsi masyarakat perkotaan, yaitu bahwa profesi petani adalah pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi.
Akibat perubahan cara pandang tersebut, citra petani dibenak mereka semakin menurun. Dengan demikian lahan pertanian bukan lagi merupakan aset sosial semata, tetapi lebih diandalkan sebagai aset ekonomi atau modal kerja bila mereka beralih profesi di luar bidang pertanian. Mereka tidak akan keberatan melepaskan lahan. pertaniannya untuk dialihfungsikan pada penggunaan non pertanian. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan kondisi ekonomi seperti saat ini, dimana kesempatan kerja formal semakin kecil. Tidak sedikit petani menjual lahannya untuk biaya masuk kerja pada lapangan kerja formal, atau membeli kendaraan untuk angkutan umum.

Hubungan Pemilik dengan Lahan
Bagi petani yang hanya menggantungkan kehidupan dan penghidupannya pada usahatani akan sulit dipisahkan dari lahan pertanian yang dikuasainya. Mereka tidak berani menanggung risiko atas ketidakpastian penghidupannya sesudah lahan pertaniannya dilepaskan kepada orang lain. Di samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang luas, petani dapat memberi pekerjaan kepada tetangganya. Hubungan antara pemilik lahan dengan buruhnya diikat dalam ikatan kekeluargaan yang saling membutuhkan, meskipun dalam status yang berbeda. Dalam hal ini, lahan pertanian merupakan aset sosial bagi pemiliknya yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempertahankan kehormatan keluarganya. Lahan pertanian yang memiliki fungsi sosial seperti ini tidak mudah tergantikan dengan imbalan ganti rugi berupa uang meskipun jumlahnya memadai.

Pemecahan Lahan
Sistem waris dapat menyebabkan kepemilikan lahan yang semakin menyempit. Lahan pertanian yang sempit di samping pengelolaannya kurang efisien juga hanya memberikan sedikit kontribusi bagi pendapatan keluarga petani pemiliknya. Biasanya petani tidak lagi mengandalkan penghidupannya dari bidang pertanian, sehingga mereka beralih mencari sumber pendapatan baru di bidang non pertanian. Untuk itu mereka membutuhkan modal atau dana yang diperoleh dengan cara menjual lahan pertaniannya. Banyak juga lahan yang diwariskan petani kepada anaknya digunakan untuk pemukiman sebagai akibat pengembangan keluarga melalui perkawinan. Bentuk lain yang berhubungan dengan pemecahan lahan adalah lembaga perkawinan yang umumnya berlaku di lingkungan masyarakat petani di pedesaan. Terbentuknya keluarga baru biasanya dibekali sebidang lahan oleh masing-masing pihak orangtua suami dan isteri untuk digabungkan menjadi milik bersama. Permasalahannya letak kedua lahan tersebut cenderung terpisah., sehingga kurang efisien dalam pengelolaannya dan sulit mengendalikannya. Dua kondisi ini mendorong pemiliknya untuk menjual sebagian lahan tersebut.



Upaya mengatasi konversi lahan :
Konversi lahan sebenarnya merupakan dilemma dalam konteks pembangunan ekonomi. Karena jika lahan pertanian sepenuhnya dilarang dikonversi ke penggunaan non pertanian maka hal itu dapat menghambat sektor lain yang memiliki produktivitas lebih tinggi dibanding sektor pertanian. 
Sebaliknya, jika konversi lahan dibiarkan berlangsung secara tidak terkendali melalui mekanisme pasar maka dapat menimbulkan masalah swasembada pangan. Maka solusinya adalah meminimalkan berbagai dampak negatif.

Menteri Pertanian mengkhawatirkan dibukanya jalan tol Jakarta-Surabaya setidaknya seluas 4.500 hektar sawah akan terkonversi. Menurut BPS konversi lahan 27.000/tahun. Oleh karena itu harus ada penambahan lahan pertanian. Menteri Pertanian Suswono dalam satu kesempatan menagih komitmen BPN yang akan mengalokasikan lahan pertanian seluas 2 juta hektar. Terhadap komitmen ini Kepala Badan Pertanahan Nasional ketika Peringatan Tahun Emas Hari Agraria Nasional mengingatkan bahwa peruntukan tanah tersebut masih melakukan pengkajian tidak saja untuk kepentingan pertanian tetapi juga untuk kepentingan lainnya.

Dalam PP No. 11/2010 dinyatakan bahwa pendayagunaan dan pemanfaatan lahan yang ditertibkan diarahkan peruntukkannya untuk merespons kepentingan strategis negara yaitu untuk pengembangan pangan,  termasuk pertanian, pengembangan energi dan perumahan rakyat. Setelah selesai pemetaan, maka akan diserahkan kepada petani. (Baca : BPN Kaji Ulang Tanah Terlantar untuk Pertanian). Menteri Pertanian terus mencari cara untuk mengerem laju konversi lahan pertanian, sebab kalau dibiarkan target swasembada pangan tidak pernah tercapai. Menurut Bambang Irawan, peneliti dari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dalam makalahnya “Solusi Konversi Lahan melalui Pendekatan Sosial Ekonomi” mengajukan tiga strategi yang dapat ditempuh yaitu (1) memperkecil peluang terjadinya konversi lahan; (2) mengendalikan kegiatan konversi lahan dalam rangka penekan potensi dampak negatif yang dapat ditimbulkan secara ekonomi, sosial dan lingkungan serta (3) menanggulangi dampak negatif konversi lahan baik yang dialami oleh masyarakat di sekitar lokasi konversi lahan maupun masyarakat  lainnya.




Hingga saat ini kekhawatiran juga terjadi dalam hal penerapan hukum yang berkaitan dengan pengendalian konversi lahan sawah. Data menunjukkan konversi lahan sawah terus terjadi. Menurut Jamal (2000) permasalahan konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan terjadi akumulasi penguasaan lahan pada pihak tertentu dapat dijawab dengan reformasi agraria. Namun kegiatan ini membutuhkan tenaga pelaksana yang jujur, tersedianya data penguasaan dan pemilikan lahan yang lengkap, dan dukungan dana yang terus menerus. Prasyarat tersebut menyebabkan banyak negara gagal melaksanakannya.

Dari faktor sosial, perilaku dan norma-norma yang berlaku di masyarakat cenderung mendorong terjadinya konversi lahan. Lahan sebagai private goods berbeda dengan common goods yang dapat dikendalikan pemanfaatannya berdasarkan kesepakatan sosial, seperti layaknya pada kawasan hutan dan perairan masih dapat dilindungi pemanfaatannya dengan kesepakatan masyarakat setempat. Sedangkan dari Dari tiga faktor diatas, faktor ekonomi dan perangkat hukum secara simultan diharapkan dapat mengendalikan konversi lahan sawah. Dana yang diperoleh dari penerimaan pajak progresif tersebut digunakan untuk pencetakan sawah baru dan perbaikan irigasi. Sejalan dengan upaya peningkatan keakuratan data dan perangkat hukum yang tegas, upaya yang realistis untuk dilakukan adalah mencetak sawah baru dan meningkatkan kualitas irigasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar